Oleh Masruri Abd Muhit Lc
Muqaddimah
Pada tahun 1984 setelah selesai kuliah S1 di Madinah dan berkeluarga, saya mendapat tugas dakwah dari Atase Agama di Sumbawa, semula saya bertugas di kota Sumbawa Besar, namun kemudian saya diajak oleh adik kelas saya di Gontor untuk bergabung dengannya di pesantren yang baru dirintisnya di kota kecamatan Taliwang (sekarang sudah menjadi ibu kota kabupaten baru Sumbawa Barat).
Dua tahun saya di Taliwang tepatnya di pesantren Al Ikhlas Sumbawa barat (waktu itu masih kecamatan Taliwang kabupaten Sumbawa Besar), dan pada sebelum ramadlan tahun itu (1986 tahun syamsiyyahnya) saya pulang ke Jember untuk berlibur. Namun sebelum pulang saya bermimpi bertemu pak lik adik bapak saya alm KH Abd Mu’id Sulaiman salah satu pendiri pesantren Baitul Arqom Balung Jember berkata, le aku wis nggawe kamus tapi durung mari, marekno yo (Nak, saya sdh membuat kamus tapi belum selesai, selesaikan ya). Kemudian beliau menyerahkan kamus itu dan saya buka, ternyata ada bab yang belum selesai, hanya tertulis bab olahraga = baburriyadloh, dan di bawahnya kosong.
Sesampai di kampung (Balung Jember) saya diajak mengikuti rapat yayasan pondok pesantren Baitul Arqom, karena memang sejak lembaga pendidikan yang didirikan di antaranya oleh paman saya itu mempunyai yayasan resmi bernama yayasan pondok pesantren Baitul Arqom, saya sudah menjadi pengurus yayasan, meskipun waktu itu saya masih berada di Gontor seingat saya tahun kedua saya mengabdi menjadi ustadz sambil kuliah.
Rapat itu membahas tentang tawaran Gontor kepada Baitul Arqom untuk memulai lembaga baru dan mengirim santri dari calon santri yang belum bisa masuk Gontor di yayasan Baitul Arqom yakni lembaga pendidikan ala KMI Gontor dengan beberapa syarat di antaranya membubarkan SMP dan SMA yang sudah ada waktu itu, diterima atau tidak sekaligus melakukan persiapan untuk penerimaan bila menerima tawaran tersebut.
Setelah melakukan rapat berkali kali, akhirnya rapat memutuskan untuk menerima hal itu dan menunjuk saya dan pak Masykur sebagai penanggung jawabnya, saya sebagai pengasuh pondok dan pak Masykur sebagai direktur MMI (nama KMI di Baitul Arqom).
Saya menerima tanggung jawab itu dengan keyakinan bahwa itu adalah tafsir mimpi saya tentang bab olahraga atau bab riyadloh. Maka sejak itu (1986) saya kemudian tinggal di Baitul Arqom, tidak kembali ke Sumbawa lagi, namun kemudian sambil mengajar di Bondowoso tiga hari dalam seminggu karena tugas dakwah saya ditetapkan di kabupaten Bondowoso.
Delapan tahunan saya mengabdi di Baitul Arqom dan saya merasa tugas saya menyelesaikan kamus sudah selesai pesantren ala Gontor di Baitul Arqom sudah berjalan dengan baik, jumlah santri sudah hampir 500 orang, selain management bahkan urusan keuangan sudah berjalan dengan baik setelah ada perobahan sistem pengolahan tanah sawah wakaf yang kurang lebih 10 hektar dari sistem setoran ke sistem sewa, dan lain lain.
Sayapun ingin membuat kamus sendiri, pesantren sendiri maksud saya, dipicu oleh salah satunya berita dari seorang kyai di tempat saya mengajar adanya tujuh keluarga murtad.
Maka sejak 1994 saya merintis berdirinya sebuah pesantren yang kemudian saya namakan pesantren Darul Istiqomah desa Pakuniran kec Maesan kab Bondowoso, sampai sekarang.
Dari cerita di atas, ternyata saya mempunyai pengalaman ikut merintis 3 pesantren yang suasana dan keadaannya juga berbeda. Sudah lama sebenarnya saya ingin menceritakan pengalaman itu dalam bentuk tulisan, tetapi selalu ragu dan belum sempat, saya ragu apa ada manfaatnya, atau sebaliknya malah tidak ada gunanya.
Saya pernah diberi buku oleh teman saya di SPK, dari Unesa Surabaya dan penulis lebih dari 35 buku. Buku itu berjudul Rahasia Top Menulis, dan salah satu judul dalam buku itu, saya agak lupa, adalah Seandainya Gajah Mada Menulis Memoar.
Dalam judul buku itu digambarkan pentingnya seseorang menulis pengalaman yang dialami, sehingga orang sesudahnya bukan hanya mengenalnya tetapi bisa membaca pengalamannya dan mengambil banyak pelajaran dan manfaat dari pengalamannya. Digambarkan dalam judul buku itu betapa meruginya kita yang hidup sesudah Gajah Mada akibat dia tidak menulis memoar kehidupannya, kita hanya mengenalnya sebagai tokoh yang bisa menaklukkan dan menyatukan Nusantara, sementara kalaulah seandainya dia mau menuliskan memoar hidupnya, tentu akan dapat belajar darinya bagaimana cara, teknis dan strategi melakukan itu semua, selain tentu kita bisa banyak belajar dari beberapa aspek kehidupannya yang lain.
Atas dasar itulah saya ingin menulis pengalaman saya ikut merintis 3 pesantren berbeda, agar bisa diambil manfaat sehingga menjadi ilmu yang bisa diambil manfaatnya, ilmun yuntafa’u bihi, yang akan mengalirkan pahala insyaallah.
Saya akan menulis ini semua dengan cara bercerita mengalir saja, tipe tulisan orang bodoh, silahkan anda mengambil pelajarannya sendiri saja. Orang yang pandai dan cerdas itu orang yang bisa mengambil pelajaran dari sesuatu yang baik dan tidak baik.
Semoga dimudahkan, bermanfaat dan berkah.
Bersambung
Daris, 18 November 2020


