Oleh Masruri Abd Muhit LC
Malam Infaq Dan Dicari Cari Polisi.
Saya berangkat ke Sumbawa semula sendirian, selain karena memang saat itu istri saya baru saja melahirkan, saya juga ingin melihat situasi dulu sekaligus mempersiapkan segala sesuatunya sebelum saya mengajak keluarga saya. Saya berangkat dari Surabaya ke Sumbawa, transit dan ganti pesawat di Denpasar.
Saya mendatangi alamat yayasan yang diberikan oleh atase, bayangan saya yayasan itu adalah yayasan dakwah yang sudah mapan dan eksis, sehingga saya datang ke situ tinggal mengikuti dan menjalankan program program dakwah yang dimiliki, namun ternyata yayasan itu masih berupa rencana, sementara yang sudah ada baru berupa musolla kecil dengan kegiatan semacam tpq setiap habis sore sampai istri dengan santri puluhan anak.
Saya pun disarankan untuk tinggal di losmen HH namanya, inisial dari nama pemiliknya Hamid Hawa, waktu itu di kota Sumbawa Besar banyak losmen mengingat penyeberangan ke pulau Lombok tidak setiap saat ada sehingga mereka yang mau ke Jawa, Bali dan Lombok dari timur Bima, Sumba, NTT dll perlu penginapan untuk menunggu jadwal penyeberangan, sambil mencari rumah kontrakan untuk persiapan bila keluarga saya datang dan ikut ke Sumbawa.
Setelah menemukan gambaran rumah kontrakan, saya kembali ke Jember untuk menjemput anak dan istri saya, termasuk kemudian adik istri saya ikut, melalui Denpasar untuk kemudian naik pesawat ke Sumbawa.
Saya akhirnya mengontrak di sebelah utara masjid agung, lupa saya nama masjidnya, yang saya ingat di depan masjid itu ada rumah adat Sumbawa. Sebenarnya yang saya kontrak ruangan bekas dapur yang disekat sekat berada di belakang rumah, namun dengan kamar mck tersendiri termasuk ruang masak. Ini tentu saja menguntungkan, keluarga saya tidak takut kalau suatu ketika saya tinggal malam atau bermalam di tempat lain seperti kalau harus menginap di tempat pengajian di kampung atau daerah pegunungan yang tidak memungkinkan untuk kembali karena masalah kendaraan dan keamanan.
Selain rumah itu dekat masjid juga dekat dengan tempat musolla atau yayasan yang ditentukan oleh atase.
Setiap sore sampai isya’ saya mengajar di musolla itu dengan pelajaran yang saya buat sendiri bagi yang membaca Alqur’annya sudah baik, sementara yang masih belum baik tetap belajar membaca Alqur’an dengan dibimbing oleh pemilik musolla itu. Untuk berdakwah ke masyarakat saya berkonsultasi selain kepada bapak Lalu Zaenuddin, pemilik musolla, juga kepada Lalu H Sholeh, seorang da’i yang sebenarnya berlatar belakang umum namun giat mempelajari agama melalui autodidak, baik buku agama berbahasa Indonesia atau Arab dengan berbekal kamus, saya salut beliau teliti dan rajin sekali, buku saya yang berbahasa Arab banyak dipinjam beliau, kelihatan sekali beliau membacanya dengan beberapa tanda, juga kepada bapak Khoiruddin yang masih pamannya Prof Dr Din Syamsuddin, waktu itu masih kuliah di IAIN dan aktif di masjid Cut Nyak Din Jakarta, beliau waktu tokoh muda Muhammadiyah dan pernah dipenjara karena dianggap penggerak gerakan anti Jawa Bali, akibat merasa adanya perlindungan kepolisian yang mayoritas orang Bali terhadap orang orang Bali yang melanggar adat, juga kepada Pak Moch Munir, seorang tokoh Nahdlatul Ulama di Sumbawa sekaligus menjadi ketua DPRD asal Lumajang dan yang lain.
Melalui mereka saya bisa masuk mengisi ceramah atau pengajian di banyak tempat, bahkan kadang sampai ke pelosok desa dan pegunungan, selain tentu banyak yang kemudian datang sendiri ke saya mengundang untuk berceramah.
Pengajian pengajian itu ada yang memang berupa pengajian rutin bulanan atau mingguan dan biasanya kalau kelompok putri seperti Aisyiah yang dipimpin ibu Khoirudin, istri saya yang saya suruh mengisi, ada juga pengajian karena adanya munasabah semacam pernikahan atau aqiqahan atau yang lainnya, yang sering pada acara takziyah bila ada kematian.
Ada tradisi takziyah kematian di Sumbawa yang menurut saya menarik dan baik, yakni setiap ada kematian setelah kewajiban kewajiban terhadap yang meninggal seperti memandikan, mengkafani, mensolatkan dan menguburkan ditunaikan, malam pertama sampai ke tiga biasanya sesudah magrib atau isya’, para tetangga atau penta’ziyah berkumpul di rumah keluarga atau di tempat yang disediakan dan diisi dengan pengajian atau tausiyah, dan sebelumnya bagi keluarga yang suka tahlilan diisi tahlilan tapi yang tidak ya terus langsung acara pengajian atau tausiyah diniyyah terutama tentu saja disesuaikan dengan suasana kematian. Sementara keluarga tidak perlu menyajikan konsumsi paling paling hanya sekedar minuman teh tidak boleh lebih. tidak ada tujuh hari atau 40 hari atau setahun (pendak tahun) atau 1000 harinya dll.
Terus terang saya tidak mengetahui secara persis bagaimana sejarah terjadi dan berlakunya tradisi itu, yang jelas memang sunnah ta’ziyah itu hanya pada tiga hari itu.
Ada juga tradisi bagus di suatu desa di antara kota Sumbawa Besar dan Dompu, nama desa itu Maronge, ada tradisi malam infaq, sedekah dan zakat. Tradisi itu berupa setiap selesai musim panen, kira kira setahun tiga kali, di hari yang ditentukan semua penduduk desa itu datang ke suatu tempat masing-masing membawa infaq, sedekah dan zakat masing-masing, kemudian malamnya pada acara itu dibacakan nama dan hasil infaq sedekah dan zakat, kemudian diteruskan dengan ceramah atau pengajian.
Saya sendiri pernah diajak bapak H Lalu Saleh untuk menghadiri dan ikut berceramah pada suatu malam infaq sedekah dan zakat, tradisi di desa itu. Acaranya cukup ramai dan infaq sedekah dan zakat yang terkumpul waktu itu cukup banyak, macam macam ada sapi kerbau kambing padi dll. Konon desa ini menjadi desa yang makmur, yang pasti masjidnya waktu itu menjadi masjid yang terbaik di kabupaten itu.
Saya juga pernah diajak beliau berceramah ke suatu desa di pegunungan saya lupa nama desanya, kalau nggak salah masuk kecamatan Lape, di situ ada bendungan air, sempat mandi mandi keesokan harinya. Waktu itu kita naik kendaraan kuda semacam dokar, yang ngeri ketika melewati sungai tidak ada jembatannya, kendaraan langsung turun dan menyeberang menerobos air.
Suasana pengajian di pegunungan malam itu sungguh indah dan sahdu, mereka berdatangan dengan membawa alat penerang dari bambu yang berisikan minyak tanah dengan sumbunya yang dinyalakan dengan api (obor atau oncor kalau kata orang kampung saya) dari hampir segala penjuru ke tempat pengajian yang diterangi lampu lampu petromax, sungguh suasananya jadi khusyu’ kondusif dan romantis, karena memang listrik PLN belum menjamah kampung desa itu.
Saya tidak mengetahui persis, bagaimana adik kelas saya di Gontor asli Sumbawa ustadz Zulkifli Muhadli (sekarang Dr KH Zulkifli Muhadli) mengetahui saya ada di Sumbawa, perkiraan saya beliau ke Jakarta ketemu dengan teman teman terutama alm ustadz Aman Nadir di kantor atase yang semarhalah di Gontor, diberitahu kalau saya ada di Sumbawa, maka beliau datang ke rumah kontrakan saya.
Dalam bincang bincang di kontrakan saya itu, beliau mengundang saya untuk mengisi acara tahun baru hijriah sekaligus peresmian berdirinya pesantren yang beliau rintis dan bangunan sederhana asrama santri Alhijrah, sekaligus mengajak saya untuk bergabung dalam perintisan pesantren itu yang terletak di kecamatan Taliwang (sekarang sudah menjadi ibu kota kabupaten Sumbawa Barat) yang jarak tempuhnya waktu itu dari kota Sumbawa besar dengan bus kurang lebih empat jam.
Untuk hal pertama saya menyanggupi dan kemudian benar benar datang, sementara untuk yang kedua saya juga siap namun tidak pada waktu cepat, mengingat saya masih baru dua bulanan di Sumbawa, maka saya merasa tidak enak kalau langsung pindah meninggalkan yayasan tempat pertama saya di Sumbawa.
Suatu malam pada acara takziyah saya mengisi ceramah, dalam ceramah itu saya mengutip hadis yang menyatakan bahwa Islam pada awalnya dianggap aneh dan nanti akan kembali dianggap aneh, namun berbahagialah orang-orang yang tetap aneh. Saat memberikan contoh saya mengatakan bahwa kalau ada perkumpulan darma wanita (kumpulan istri istri pegawai negri) tidak ada yang memakai jilbab paling hanya beberapa orang atau bisa jadi istri kepala Depag saja.
Rupanya ceramah saya yang menyebut Darma Wanita menjadi masalah, biasa di daerah kecil masalah kecil bisa jadi masalah besar. Saya diberitahu beberapa orang bahwa saya sedang dicari cari polisi karena ceramah itu. Maka itulah yang kemudian membuat saya menyegerakan diri untuk secepatnya pergi bergabung dengan adik klas saya merintis berdirinya pesantren di Taliwang.
(Bersambung)
Daris, 12 Desember 2020.

