- Oleh : Muh. Haidar Amien
Namanya Darul Istiqomah, lebih akrab dengan sebutan Daris. Sebuah pesantren yang berhasil menyelamatkan saya dari tenggelam pada rusaknya masa muda. Pesantren itu,kecil nampaknya memang, tak sebesar pesantren-pesantren lain, namun siapa saja yang sudah pernah berkunjung dijamin termanjakan matanya dengan pemandangan didalamnya.Tatanan bangunanya elok, masjidnya bersih,lapangan bola tersedia,kolam renang ada, dan taman-tamannya “memperparah” keindahan. Muridnya hanya ratusan memang, tak sebanyak pesantren-pesantren terkenal lainnya, yang sampai puluhan ribu, namun alumninya bisa berguna dimasyarakat.
Pesantren ini sudah banyak menelurkan orang-orang militan, yang memperjuangkan nilai-nilai Islam. Beberapa dari mereka sudah sukses mendirikan pesantren. Pesantren Modern Muhammadiyah Jember, Pesantren Darul Muhajirin Lumajang, Pesantren Cendekia Tahfidz Al-Qur’an Tangerang Selatan, adalah beberapa pesantren yang arsiteki serta dibidani langsung oleh alumni – alumni Daris. Yang menjadi pengajar di pesantren-pesantren lebih banyak lagi, baik pesantren di kota mereka sendiri maupun pesantren di perantauan. Ada juga yang menjadi da”i – da’i penyeru Ummat.
Memang alumni – alumni Daris sebelum mereka mentas dari pendidikannya, akan “disangui” ilmu untuk mengajar. Tak heran jika banyak yang berkecimpung didalam dunia pendidikan manakala telah menyelesaikan masa belajarnya. Pun begitu, tak semuanya sreg dengan pengajaran, tak sedikit juga dari alumninya yang nyemplung di dunia bisnis, travel umrah, petani, peternak, bahkan ada juga yang menjadi tentara. Tentunya semua profesi itu baik, manakala prinsip-prinsip Islam yang didapat di Daris terus dipraktekkan dan kehidupan.
Yudisium atau pelulusan santri di Daris sudah selesai 1 Mei yang lalu. Ketika itu saya belum pulang kampung, padahala maksud hati ingin datang melepas rindu. Tak apalah, bisa lihat – lihat beritanya dari medsos kan, begitu pikir saya. Adek saya 2 orang juga disana, alhamdulillah kedua – duanya naik kelas manakala Yudisium. Yang satu cewek, naik ke kelas 5 TMI, satunya lagi cowok, naik ke kelas 2 TMI.
Begitu saya pulang, saya diberi tau orangtua, bahwa ada beberapa anak yang tidak naik kelas ketika Yudisium di Daris. Saya katakan itu sudah biasa, biasanya memang tiap tahun begitu.
“Loh ndak le, yang sekarang beda. Jumlahnya banyak sekali, kemaren katanya sampek ada 30 anak yang nggak naik” ujar ibu saya.
“Wih-wih, mosok i buk? Banyak bener, biasanya gak sampek sepuluh loh. Waduh, payah ini” jawabku heran.
“Lah Iyo le, kasihan yang nggak naik ya” sahut ibu
“Malah lebih kasian lagi kalo mereka dinaikkan kelas buk” ujarku menjelaskan
“Loh kok bisa? Kalo naik kelas kan nggak ada masalah le, justru kalo nggak dinaikkan itu takutnya mereka futur, terus malah moleh gak gelem mondok maneh, lak entek santri neng Daris” tanya ibu agak heran dengan jawabanku tadi.
“Itulah hebatnya Daris, nggak pernah takut kehilangan murid,karena yang diprioritaskan adalah kualitas buk, bukan kuantitas. Sebenarnya kalo ditanya kenapa kok malah lebih kasihan lagi kalo dinaikkan kelas anak-anak tadi itu, aku jadi inget wejangan Kyai ketika pembukaan ujian tahriri buk” aku mulai menjelaskan
“Sek-sek, ujian syahrini iku opo” Tiba-tiba ibu memotong.
“Aduh, bukan syahrini buk, tapi tahriri, itu artinya ujian tulis. Jadi dulu pas pak kyai membuka ujian tulis itu, ada suatu kalimat dari beliau yang begitu menghujam selama bertahun-tahun di dadaku buk. Beliau ngomong gini,
” Nanti kalo ada yang nggak naik kelas, jangan sedih. Itu bukan kegagalan, itu ada termasuk dari proses sukses juga. Bahkan kalo ada diantara kalian yang sebenarnya nilainya tidak mencukupi untuk mendapatkan predikat “naik kelas”, lantas tetap pihak pesantren naikkan, maka dia akan lebih kasian lagi. Karena pada dasarnya, pendidikan kalian disini itu layaknya membangun bangunan bertingkat. Manakala ada anak yang mau membangun bangunan awal, maka gak bisa grusa-grusu. Harus mendirikan pondasinya dulu yang kuat. Jika pondasi belum kuat lantas tiba-tiba sudah dibangun bangunan diatasnya, apa yang terjadi? Ambrol! Begitu juga yang mau membangun tingkat ke dua, dia gak boleh lanjut ke tingkat selanjutnya kecuali tingkat yang pertama sudah kuat dan kokoh. Lantas apa yang terjadi jika dipaksakan membangun tingkat kedua, padahal tingkat yang pertama belum kuat betul, ya itu tadi, AMBROL! itu analoginya orang yang nggak naik kelas tadi. Kalo dia dipaksain naik kelas, padahal nilainya belum cukup, maka bisa dipastikan pada kelas selanjutnya, dia akan keteteran semakim jauh. ” Jelas saya agak panjang, disambut ibuk dengan perkataann “Oooo…. “
“Ncen anu le, arek mondok itu bukan cuman dianya yang harus kuat. Wong tuwone yo kudu sabar. Nek ndak gitu, yo nggak mungkin sanggup di pesantren bertahun-tahun. Kan banyak yang anaknya itu pas nggak naik,pinginnya mbalek lagi,tapi ortunya nggak mbolehin, keburu tuwek jarene. Ada juga, Anaknya sandalnya ilang terus, lantas disuruh mandek, klambinya sering dipinjem temen mandek, makannya sederhana mandek. Yo gara-gara orang tuanya itu, yang terlalu khawatir, anake gak oleh soro blas. Yo repot nek ngunu kui. ” ibuk memberi kesimpulan
Saya juga punya tetangga udah Sepuh, yang cucunya nyantri di daris. Cucunya itu cewek, anak kalimantan kalo gak salah. Nah dia itu juga salah satu anak yang nggak naik kelas, dan kabar – kabarnya dia itu udah nggak mau balik lagi nantinya. Maka ketika bertemu dengan tetangga saya tadi itu dimasjid saya konfirmasi berita itu, dan memanglah benar demikian. Ketika saya tanya kenapa kok nggak lanjut terus, mengalirlah sedikit cerita beliau.
“Jujur nak, aku sakjane iku bangga banget melihat perkembangan dia selama setahun di daris. Banyak perubahan yang sudah dia alami, tentunya itu perubahan yang baik. Dulunya dia nggak mau bantu-bantu ibunya, setelah di Daris,dia mulai bantu-bantu. Dulunya,bangun pagi itu kuat-kuatan sama matahari,kalo mataharinya sudah terik sekali dia yang akhirnya ngalah dan bangun karo males-malesan. Sekarang matahari belum muncul,dia sudah sregep sembahyang shubuh.
Aku yang paling seneng yo nak,pas mampir ke Daris itu. Ketika dia nggak naik kelas,aku cari dia ke mana-mana. Nggak ketemu tapi,aduh bingung aku. Ternyata dia ada di dapur, nangis. Dan teman-temannya pada ngerebutin menghibur, jadi trenyuh aku.Apalagi ngehibur nya pake bahasa Inggris, aduh kok yo isoo ae cah cilik-cilik iki. Pokoe onok kalimat “kip Peg”, opo iku artine? “
“Keep Fighting pak, terus semangat” jawab saya cengengesan.
“Iyo iku pokoe wis, bangga nemen aku pokoe, banyak banget kemajuan – kemajuan anak itu. Dan sebenarnya, pas nggak naik itu, dia ngotot mau mbalik ke Daris, lanjut terus. Tapi ternyata ibuknya melarang, dan ngerayu-rayu dia. Akhirnya dia nggak mbalik lagi kayaknya, cek emane aku arek iku. Oh iyo, awakmu onok alamat pesantren koyok Daris nggak, yang lokasinya di Kalimantan? “
“Darul Ijabah pak, di daerah baru licin, kalimantan selatan kayaknya” jawabku menyebutkan salah satu pesantren yang di asuh oleh seorang temanku pas nyantri dulu.
“Oh iyo wis, nanti tak njajal nawari itu, eman nek bocah saiki iku ndak di pondokno le, bahaya pergaulane. Yo wis, aku tak muleh disek yo, assalamu’alaikum” tetangga saya itu menutup percakapan
“Oh enggeh pak, waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh” Jawab saya
Betul kata ibuk, mondok itu yang harus kuat bukan anaknya saja, orang tuanya pun juga harus legowo. Aduh, beruntung sekali saya punya orang tua yang legowo.
Ya begitulah, jadi bagi adek-adek yang nggak naik kelas. Keep Fighting, kembali lagi ke Daris, terus lanjutkan nyantri. Itu bukan aib, itu bentuk komitmen perjuanganmu, malah kalo nggak naik kelas kemudian justru futur dan berhenti, itu ndak gentle seh.
Yang masih setahun di Daris,terus nggak naik kelas, ayo balik lagi. Kau belum merasakan keseruan di taun kedua. Yang masih 2 tahun terus nggak naik kelas, ayo balik lagi. Kau belum merasakan tantangan di tahun ketiga ketika sudah mulai menjadi mudabbir. Yang sudah tiga tahun terus nggak naik kelas, ayo balik lagi. Masih ada tantangan menjadi Osdi, dan kemudian merasakan lelahnya ujian nihai, lantas ditutup dengan masa mengabdi, itu semua nggak akan kalian rasakan jika nggak balik lagi ke Daris.
Dan malah, proses akhir – akhir itu, mulai masa mudabbir, menjadi OSDI, terus masuk ujian Nihai, dan kemudian mengabdi, adalah masa-masa penuh pengorbanan, dan tentunya pengorbanan itu selalu enak untuk dikenang ketika sudah lulus. Setidaknya, dengan nyantri di Daris, akan menyelamatkan masa-masa muda kalian. Bravo!!
Jember, 11 Ramadhan 1400 H