Oleh Masruri Abd Muhit
Seingat saya suatu ketika dalam suatu acara di Bogor ada seorang teman alumni Saudi Arabia saat melihat banyak dan bermacam macam serta beragamnya alumni Gontor dalam ormas keagamaan, ada yang di Muhammadiyah, ada yang di Nahdlatul Ulama, ada yang di Persis, ada yang di Matla’ul Anwar dan lain lain, atau dalam beraqidah, ada yang bermadzhab kholaf dalam aqidah, Asy’ari Maturidi, maksudnya, dan ada yang bermadzhab salaf dalam aqidah layaknya salafi hijazi.
Teman itu bertanya, Gontor ini sebenarnya bagaimana sih, kok alumninya bermacam macam seperti itu, kok tidak satu. Saya dan teman saya saat mendengar pertanyaan seperti itu menjawab, ya begitulah Gontor, kalau tidak begitu bukan Gontor namanya, di atas dan untuk semua golongan.
Yang saya tahu, mohon dikoreksi kalau kurang pas, ibarat taman atau kebun, Gontor itu taman atau kebun persemaian yang di dalamnya banyak ragam benih tanaman yang disemaikan dan dipupuk serta dikembangkan, sehingga kemudian tumbuh berkembang semerbak indah dan menemukan harmoni keindahan, sehingga menjadi taman atau kebun yang indah dan sedap dipandang, keberagaman macam benih dan jenis tanaman di dalamnya malah semakin menambah indahnya pemandangan taman atau kebun itu, harmoni dan serasi dalam keragaman dan kekayaan warna.
Diharapkan benih benih yang beragam dan multi warna itu bila sudah dianggap kuat dan tahan bisa dipindahkan, dipindahkan ke taman atau kebun yang lebih luas dan benih benih itu berkembang sehingga kemudian taman atau kebun yang luas itu suasana dan keadaannya menjadi seperti taman atau kebun yang awal, indah dan harmoni dalam keberagaman dan kebersatuan nuansa.
Sejak semula Gontor memang dirancang dan diharapkan alumninya menjadi perekat ummat. Almarhum KH Hasyim Muhadi saat menjadi ketua umum PB Nahdlotul Ulama dan Dr Din Syamsuddin yang saat bersamaan menjadi ketua umum Muhammadiyah tidak membuat taman atau kebun yang luas bernama Indonesia ini menjadi karut marut tidak sedap dipandang mata, tapi justru menambah keindahan dan kesatuan dalam keberagaman dan kekayaan warna pelangi taman atau kebun bernama Indonesia itu, meskipun keduanya berbeda dalam ormas keagamaan.
Seorang teman alumni Gontor memberikan keterangan yang mungkin bisa jadi jawaban bagi pertanyaan di atas, saya merasa cocok dengan keterangan itu meski tidak pleg.
Dalam akidah, di Gontor pelajaran yang diberikan dari klas satu sampai klas tiga, yakni memakai buku usuluddin karangan kh imam Zarkasyi, kitabussaadah dan addinul islami yang sering dikatakan sebagai pelajaran diyanah itu, yang semuanya aqidah ala madzhabi ahlissunnah waljamaah bermanhaj kholaf yakni al asy’ariyyah al maturidiyyah, sementara untuk klas empat sampai klas enam diajarkan aqidah ala madzhabi ahlissunnah wal jama’ah menggunakan manhaj salafi hijazi.
Sementara dalam fiqih, pelajaran yang diberikan dari klas satu sampai klas tiga fiqih ala madzhab Syafi’i yakni buku fiqih karangan kh imam Zarkasyi dan alfiqhul wadlih karangan Mahmud Yunus yang kata orang persis kitab fathul qorib, sedang untuk klas empat sampai klas enam, pelajaran yang diberikan adalah pelajaran fiqih muqorin fiqih perbandingan dengan menggunakan buku ajar, bulugul marom dan syarahnya subulussalam juga buku bidayatul mujtahid wa nihayatul muqtasid.
Disamping itu di klas tiga sampai klas enam diajarkan beberapa ilmu dasar ijtihad semacam usul fiqih, ulumul qur’an, mustolahul hadis, tafsir dll.
Maksudnya, dalam aqidah, menganut ahlissunnah waljamaah, bukan mu’tazilah atau liberal, bukan syi’ah khowarij, ada yang mengikuti manhaj kholaf asya’iroh dan ada yang mengikuti manhaj salaf hijazi, dan dalam fiqih bermadzhab tidak muqollid namun muttabi’ kalau mampu mujtahid dari mujtahid madzhab sampai mujtahid mutlaq.
Jadi benar benar di atas dan untuk semua golongan, namun ketika berbeda, perbedaan mereka didasari motto berbudi tinggi yang berarti ketaqwaan, berbadan sehat, berpengetahuan luas baru kemudian berfikiran bebas.
Artinya mereka memilih dalam berbeda atas dasar ketaqwaan bukan hawa nafsu, dengan badan dan akal yang sehat, dan pengatuhan dan ilmu yang luas baru kemudian bebas menentukan pilihan, sehingga kalaupun berbeda pilihan atau berlainan golongan, mereka tetap bersama dan bersatu dalam artian bisa menghormati perbedaan itu sendiri.
Sehingga mereka akan mengerjakan dan menganut apa yang menurut mereka paling mendekatkan pada ketaqwaan, akan tetapi bisa memahami pilihan dan apa yang dianut orang lain.
Sebagai ilustrasi, saya pernah ditanya oleh seorang teman dari Gontor, di pesantrenmu ada ilahi las nggak (maksudnya syiir Abu Nawas yang dilantunkan bersama sama sebelum solat lima waktu)? Ketika saya jawab tidak ada, teman itu bertanya lagi, kenapa tidak ada sedang di Gontor ada. Saya katakan, menurut saya yang lebih mendekati kebenaran itu yang tanpa ilahi las, tetapi saya tetap menghargai bila ada yang tetap menggunakan ilahi las.
Pesantren kita sebagai pesantren alumni Gontor mengikuti Gontor dalam hal ini yakni dalam di atas dan untuk semua golongan dan perekat ummat, dengan menanamkan motto berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan baru berfikiran bebas.
Musuh kita akan terus memerangi cara berpikir kita dengan berbagai cara termasuk dengan cara yang kita tidak merasa sedang diperangi. Untuk menanamkan kewaspadaan dan kehati hatian di pesantren kita Darul Istiqomah kita ajarkan pelajaran algozwul fikri yang berisi sejarah dan cara cara serangan pemikiran Barat terhadap dunia Timur islam.
Semoga bermanfaat dan berkah.



